Mengasihi Tuhan Tanpa Syarat
Saya makin melihat bahwa kehidupan yang dunia tawarkan sangatlah rapuh. Dunia mencetak kita untuk membangun hidup berdasarkan kekuatan diri sendiri dan uang. Seolah ada kebahagiaan dan kehidupan yang pasti di sana, padahal tidak! Itu adalah tipu daya dunia ini. Namun permasalahannya cetakan dunia itu belum sepenuhnya tercabut bagi kita orang percaya. Beberapa indikasi bahwa masih adanya cetakan dunia dalam diri kita adalah: Masih hidup untuk terus mengejar hal – hal lahiriah, masih sering takut, khawatir, dan cemas ketika tidak ada ‘pegangan harta atau uang’.
Repotnya, ketika Tuhan ingin memerdekakan diri kita dari perbudakan roh – roh dunia tersebut dan hidup hanya dari firman-Nya, justru kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada Tuhan dan firman-Nya. Kita seolah mempertanyakan ‘kepastian dan kejelasan’ hidup di dalam firman-Nya.
Ketika saya membaca kitab Ulangan 6, Mazmur 1, Yosua 1, dan Matius 6, semua ayat – ayat tersebut menjelaskan dampak hidup hanya dari firman-Nya. Awalnya saya ‘happy’ membaca ayat – ayat itu, tapi belakangan hati saya justru ‘sedih’. Saya merasa tidak sewajarnya Tuhan terus ‘mengiming – imingi’ kita dengan hal – hal lahiriah demi kita melekat kepada Dia. Kenapa kasih kita terhadap Tuhan selalu bersyarat? Kurang baik apa Tuhan terhadap diri kita?
Saya jadi paham, ada banyak orang kecewa kepada Tuhan sebab arah kecenderungan hatinya memang bukan kepada pribadi Tuhan. Melainkan pada berkat, pertolongan Tuhan, mukjizat, pokoknya segala hal yang ia minta harus tergenapi. Itulah penyebab orang jadi kecewa, sebab ia gagal memahami esensi kehidupan orang percaya.
Yohanes 15:4-5 (TB) Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.
Esensi kehidupan orang percaya adalah keterhubungan dengan realita Tuhan. Jika Tuhan ada di dalam kita dan kita ada di dalam Tuhan, itu sudah cukup bagi kita. Itulah segalanya bagi kita. Bukankah realita Tuhan melebih apa pun juga? Dunia telah mencetak kita untuk ‘melekat pada yang lain’, bukan kepada realita Tuhan. Manusia seolah dibuat untuk meyakini bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa uang dan harta lainnya. Cetakan itu terbilang sangat berhasil bahkan setelah kita ditebus dari dosa karena anugerah-Nya, kita tetap saja mengasosiasikan keberadaan Tuhan dengan uang, harta benda, dan segala hal – hal yang kita anggap ‘menguntungkan’ diri kita. Selalu ada saja hitungan – hitungan dalam melangkah berjalan bersama Tuhan. Kita selalu berpikir untuk beroleh keuntungan: Berkat, uang, dan lain – lain.
Saya mendapati roh yang mengadili dan membakar akan membuat hati kita kembali TULUS MENCINTAI TUHAN. Kita bisa membaca baik dari Alkitab maupun sejarah, ada banyak para martir yang mati mengenaskan karena mempertahankan apa yang mereka yakini. Mungkinkah mereka berharap pertolongan Tuhan seperti Ia menolong Daniel di gua Singa, atau menolong Sadrakh, Mesakh, Abednego dari dapur api? Bisa saja. Tapi Tuhan tidak menolong mereka. Apakah mereka kecewa kepada Tuhan? Tidak! Mentalitas inilah yang mesti kita miliki. Kesetiaan dari pihak Tuhan tidak perlu diragukan, sebab sekalipun Ia ‘tidak menolong’ tapi keberadaan-Nya sebagai Allah yang setia tidak bisa terbantahkan.
Keyakinan dan pengenalan akan Tuhan inilah yang sedang dibangun oleh Roh Kudus dalam diri kita. Roh sedang membuat kita jadi tulus mencintai Dia dalam kondisi apa pun juga. Cinta kita terhadap Tuhan akan dibuat kokoh dan tidak tergoyahkan. Inilah yang membuat kita senantiasa melekat bahkan melihat Dia sebagaimana Dia adanya! Tidak ada keindahan, kebahagiaan, dan kedamaian sejati dari dunia ini ataupun hal-hal lahiriah. Itu semua hanya kita bisa peroleh saat kita melihat dan melekat kepada Dia.
Kita tidak akan pernah kuat menghadapi kondisi dunia, peristiwa, dan berbagai kejadian tanpa ada tanda ‘langit yang terbuka’ dan keterhubungan dengan realita Tuhan. Hati kita di hadapan Tuhan sangat menentukan, semakin kita tulus maka semakin tenang hidup kita. Kita dapat berkata: “Tidak ada siapa pun dan apa pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus”.
Roma 8:35-39 (TB) Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Amen!